Komentar terhadap artikel yang dimuat Kompas Jatim, Senin, 20 april 2009, oleh Bagong Suyanto tentang ancaman PHK di Jatim.
Dalam artikel tersebut, Suyanto memprediksi akan meningkatnya PHK para pekerja di Jawa Timur (Jatim) sampai akhir tahun ini akibat belum ada tanda-tanda membaiknya ekonomi paska krisis global. Prediksi dari berbagai pakar ekonomi pun bernada sama. Beberapa program telah digulirkan. Namun menurut Suyanto program yang digulirkan masih bersifat instan, pengedepanan produksi dari pada distribusi kesejahteraan dan cenderung mempenetrasikan teknologi dengan dalih pembangunan demi melancarkan produksi.
Melalui masalah tersebut, Suyanto menggagas tiga tawaran solusi yaitu pertama melalui program pemerintah maupun program multiplier effect dari investasi swasta. Kedua, meningkatkan kualitas pencari kerja dan TKI/TKW agar lebih berdaya dalam kebutuhan pasar bebas. Ketiga, bantuan khusus bagi sektor industri kecil, sektor informal dan sektor perdagangan tradisional. Nampaklah sudah tawaran Suyanto yang berpretensi mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya dengan melupakan modal sosial masyarakat Jatim.
Ada yang aneh dalam solusi yang ditawarkan Suyanto, yaitu masalah pekerja di Jatim yang berporos pada pemerintah dan selanjutnya disosolusikan dengan poros pemerintahan pula. Ini Blunder. Tentunya sedikit menghilangkan nilai kemuliaan seorang akademisi dalam merespon lingkungan dan permasalahannya.
Akar permasalahan Jatim, menurut saya adalah individualisme yang akut sebagai akibat dari tekanan ekonomi dan pendapatan pas-pasan para pekerja. Padahal modal sosial masyarakat Jatim yang sudah ada secara turun temurun adalah kolektifitas yang terpendam dalam kesadaran --meminjam istilah Cliford Geertz- kaum abangan dan santri. Abangan mewarisi Nasionalisme Soekarno, dan Santri mewarisi kultur NU. Jika dilihat dari situ bukanlah modal kapital yang menjadi tujuan gerak ekonomi masyarakat kita. Bukankah untuk melangkah ke depan harus keluar dari kotak dan kotak itu adalah industrialisasi yang melulu kerja dan gaji tetap bagi pekerja.
Kolektifitas
Semboyan "mangan gak mangan asal sing penting ngumpul" (Makan tidak makan, asal kumpul) menyiratkan semangat gotong royong melalui kepemilikan bersama dalam menggerakkan ekonomi. Contoh kepemilikan bersama berupa sampan dan kail masyarakat pesisir pantura dan Madura. Kepemilikan kolektif ini terbukti mengurangi resiko kerugian saat terjadi krisis, naiknya harga BBM dan musim sepi ikan.
Belum lagi kolektifitas para petani di desa yang mewujud dalam upacara pesta panen raya. Seolah sudah bersepakat, panen selesai segenap petani desa berkumpul membawa makanan ke Balai Desa atau Surau untuk dinikmati bersama-sama. Petani yang hasil panennya baik maupun buruk melebur jadi satu dalam pesta panen raya, makan dalam satu tempat, satu waktu dan satu wujud ekspresi bersyukur. Pejabat desa, pamong dan tokoh masyarakat tidak ada beda di dalam pesta itu.
Bersepakat dengan Fukuyama bahwa berbagai jenis pranata atau kelembagaan sosial merupakan unsur dari modal sosial yang dimiliki oleh suatu masyarakat, di samping sistem nilai, seperti etika sosial dan etika penghormatan sosial, etos kerja, saling percaya, jaringan-jaringan hubungan sosial, sistem pembagian kerja secara seksual, dan unsur kebudayaan yang lain.(Fukuyama, 2002). Modal sosial berupa kolektifitas akan siap bersaing di pasar bebas.
Korban-korban PHK sebagai korban dari system kerja kontrak dan pemutusan sepihak tentu butuh bantuan. Pemerintah tidak bisa berlepas tangan, tetapi juga kurang tepat jika beban berlebihan diberikan pada pemerintah. Sebab pemerintahan hari ini masih bergantung pada investor dan pinjaman asing. Sehingga apabila sirkulasi hutang asing terus digenjot dengan dalih kebutuhan masyarakat, ini bukan solusi strategis bervisi jangka panjang, tetapi sekedar menutup kebutuhan hari ini dengan mengorbankan masa depan dengan hutang yang menggunung.
Ibarat kata, lebih baik memberi kail dari pada ikan, lebih baik memberi modal usaha dari pada hasil. Semangat inilah yang terus digalakkan. Ya, modal dalam bahasa Adam Smith adalah Kapital. Tetapi arti ini kurang tepat jika menjadi maindstream pemegang kebijakan dan masyarakat Jatim. Sebab Jatim dalam kulturnya memiki modal kolektifitas yang tidak boleh ter(di)lupakan begitu saja. Kolektifitas dalam kebersahajaan, tepo seliro dan keuletan lah modal utama kebangkitan masyarakat Jatim.
Satu sample masyarakat pesisir di atas misalnya, mereka adalah para nelayan yang relatif sulit memiliki kapal sendiri. Dengan memanfaatkan modal sosial berupa kolektifitas, ketidakpemilikan perahu dan mahalnya biaya oprasional melaut bisa diatasi. Pembagian beban, tanggung jawab dan mencapai kesejahteraan secara bersama-sama bergerak mengikuti gerak perekonomian masyarakat pesisir.
Modal sosial yang terbangun secara turun temurun ini tentu tidak boleh (ter)dilupakan begitu saja. Kerja kolektif semacam itu merupakan modal kebangkitan dengan model kerjasama antar pelaku ekonomi yang relevan dengan tantangan pembangunan ekomonomi kerakyatan di Jatim.
Pemerintah Jatim dibawah komando Pak De Karwo dan Gus Ipul tentunya harus banyak mengambil kebijakan di hulu dari pada muara. Satu contoh kebijakan rencana penetapan Lahan Abadi Jatim 1,7 juta hektar untuk pertanian yang harus didukung sepenuh hati oleh masyarakat Jatim. Di pesisir bisa diambil inisiatif kebijakan tegas tentang penertiban limbah-limbah pabrik, bom ikan dan penanaman hutan bakau. Sedangkan muara serahkan sepenuhnya pada ormas-ormas yang memang dekat dengan masyarakat Jatim.
Melalui modal sosial berupa kolektifitas dalam berekonomi akan membuat pemutusan kontrak kerja sebagai akibat krisi global kurang mengkhawatirkan. Kolektifitas dalam kebersahajaan, tepo seliro dan keuletan masyarakat Jatim mengkooptasi perbedaan kelas ekonomi dan sosial. Kalaupun perlu, hari buruh yang akan jatuh pada tanggal 1 Mei nanti tidak perlu unjuk raja buruh besar-besaran. Cukup kembali pada diri sendiri sebagai masyarakat Jatim yang gandrung akan kolektifitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar